NAWALAPOST.COM, SAMARINDA – Gedung Bapperida Kota Samarinda, Rabu (1/10/2025) sore, dipenuhi deretan mahasiswa yang datang dengan penuh semangat.
Mereka adalah, anak-anak muda asal Sulawesi Selatan yang sedang menimba ilmu di Samarinda.
Ada raut penasaran, ada pula antusiasme ketika tema besar *“Kebudayaan, Peradaban, dan Ketahanan Nasional”* terpampang jelas di panggung utama.
Hari itu, Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa Pelajar Indonesia Sulawesi Selatan (IKAMI Sulsel) Cabang Samarinda merayakan Hari Lahir ke-64, dengan cara berbeda: lewat sebuah seminar kebangsaan yang mengajak generasi muda merenungkan peran budaya, di tengah derasnya arus globalisasi.
Wali Kota Samarinda, **Andi Harun**, hadir sebagai narasumber utama. Begitu naik ke podium, suasana menjadi hening. Semua mata tertuju padanya.
Dengan gaya tutur yang tenang namun tegas, ia membuka pemaparan dengan mengutip pemikiran Samuel P. Huntington tentang clash of civilizations.
“Kebudayaan adalah inti dari peradaban,” ucapnya, disambut anggukan para peserta.
“Jika bangsa ini ingin kuat dan berdaulat, maka ketahanan nasional harus dibangun di atas pondasi budaya lokal dan nasional,” lanjutnya.
Kata-katanya mengalir, menyentuh sisi intelektual sekaligus emosional para mahasiswa.
Ia menyinggung tentang kekayaan budaya Indonesia, termasuk budaya Bugis-Makassar yang tetap hidup di tanah perantauan.
“Warisan ini adalah aset strategis. Kita harus jaga, kita kembangkan, dan kita wariskan kepada generasi berikutnya,” tambahnya.
Bagi mahasiswa yang hadir, pemaparan itu bukan sekadar teori.
Banyak dari mereka merasakan langsung bagaimana budaya Bugis-Makassar dan Sulawesi Selatan pada umumnya, menjadi perekat di tengah kehidupan di kota perantauan.
Ketua IKAMI Sulsel Cabang Samarinda, Totti, mengaku bangga atas kesediaan Wali Kota untuk hadir di tengah kesibukan.
“Kami sangat berterima kasih kepada Bapak Wali Kota Andi Harun, dan kehadiran beliau memberi kami dorongan dan pemahaman baru, bahwa menjunjung tinggi nilai budaya adalah bagian dari membangun bangsa,” ujarnya.
Acara berlanjut dengan sesi tanya jawab. Beberapa mahasiswa mengangkat tangan, menyampaikan keresahan tentang bagaimana menjaga identitas budaya di era digital.
Andi Harun menjawab dengan lugas, menekankan pentingnya adaptasi tanpa kehilangan akar.
“Teknologi itu alat, budaya adalah jiwa. Kita boleh modern, tapi jangan kehilangan jati diri,” katanya, disambut tepuk tangan meriah.
Seminar ditutup dengan doa bersama dan foto kebersamaan. Namun, yang tersisa bukan hanya dokumentasi, melainkan semangat baru di hati para peserta: keyakinan bahwa mereka punya peran besar menjaga budaya sekaligus memperkuat ketahanan bangsa.
Bagi IKAMI Sulsel, peringatan Harla ke-64 bukan sekadar mengenang perjalanan panjang organisasi, melainkan momentum untuk menyalakan api kebangsaan di dada generasi muda.
Dari Samarinda, gema itu bergema: budaya adalah benteng, dan mahasiswa adalah penjaganya. (INR)














